Saturday, July 9, 2016

Saturdate at Kota Tua

Udah lama gak corat-coret diblog ini. Rasanya gatel pingin nulis, apa daya tangan gak mampu lantaran otak lagi mandeg. Setelah berbulan-bulan, kali ini, sekelumit cerita jalan-jalan dalkot. Yach, namanya juga liburan jaga kandang...

Setelah tertunda beberapa hari, akhirnya kesampaian juga pergi ke Kota Tua naik KRL. Maklum stasiun asal cuman tinggal ngesot hehehehe. Berangkat setelah makan siang sekitar pk 13:00 dengan asumsi kereta kosong, salah banget sodara-sodara. Ini arus mudik dan liburan anak sekolah, so mau gak mau harus ke stasiun Bekasi dulu, dan teutep full hehehhe. Bekasi-Kota berdiri? Enjoy ajaah...

And the journey begin ketika KRLmulai bergerak dari stasiun Bekasi menuju stasiun Jakarta Kota pk 13:30.

Kami tiba di Stasiun Jakarta Kota pk 15:00, setelah melewati underground connector dengan petunjuk informasi cukup jelas, sampailah kita di Museum Bank Indonesia. Loket tiket ada dua bagian, umum dan pelajar. Kalau punya kartu pelajar/mahasiswa, bisa masuk gratis. Luar biasanya,loket cukup ramai dengan pengunjung. Rogoh kocek Rp5000 per orang, masuklah kami ke dalam. Oh iya, sebelum masuk, semua bentuk tas harus dititipkan di tempat penitipan barang, hanya diperbolehkan membawa dompet dan hp. Sebagai tanda, diberikan tag bernomor yang dapat ditukarkan kembali setelah selesai menjelajah museum. Salut untuk petugas yang tegas dengan logat khasnya membuat pengunjung tidak mampu menolak dan mengikuti peraturan sambil tersenyum simpul.

Cukup terkesan dengan museum ini. Meskipun berada di gedung tua, dirawat dan dikelola dengan baik. Informasi disampaikan menggunakan teknologi yang cukup mutahir. Terbukti dengan adanya screen-screen  yang menceritakan sejarah perbankan Indonesia, ruang teater dan beberapa diorama, ditunjang dengan penerangan yang cukup layaknya museum di luar negeri. Hmmm, mungkin karena disponsori oleh salah satu bank terkemuka di Indonesia, jadi benar-benar diperhatikan sebagai bentuk warisan budaya Indonesia. Karena waktu tutup museum ini pk 16:00, kami agak bergegas menuntaskan kunjungan di lokasi ini dan beralih ke lokasi selanjutnya.

Berjalan sekitar 200m, tibalah kami di Kota Tua, dimana ada beberapa museum seperti Museum Fatahillah, Wayang dan Keramik mengelilingi lokasi. Kali terakhir saya berkunjung, kendaraan masih bisa parkir di dekat lokasi. Sekarang, semua akses ke Kota Tua hanya dapat di tempuh dengan berjalan kaki. 

Kondisi jalanan padat manusia dan pedagang kaki lima. Mention it: mulai dari baju, sepatu, tas, gelang, tongsis, tukang ramal, tukang ngamen, tukang jualan kerak telor, es selendang mayang, es potong, dll ini memenuhi jalan masuk dari arah Museum Bank Indonesia dan ini berlanjut sampai tkp. Yang ada, belok kiri, grakkk... Masuk Museum Wayang. Kembali merogoh kocek Rp 5000 per orang, petualangan perwayangan dimulai...

Kesan bangunan lama sangat terasa di Museum Wayang. Bau khas ruangan tertutup dan agak suram. Selain itu, banyak display kosong bahkan ada kaca yang bolong. Padahal antusiasme pengunjung untuk masuk cukup banyak.Terdapat berbagai jenis wayang baik kulit maupun golek. Menariknya, setiap daerah di Indonesia memiliki ciri tersendiri untuk wayang. Salah satunya display wayang Gatotkaca. Selain itu, terdapat wayang-wayang pemberian dari negara-negara lain seperti Malaysia, Kamboja, India, Cina, Rusia, Prancis dan Amerika.

Tujuan selanjutnya, Museum Fatahilah. Apa daya, sang pintu merah sudah tertutup hanya untuk pemegang tiket. Kami bergeser dan berencana untuk masuk ke museum Keramik yang berakhir pada kegagalan, karena petugas menginformasikan dengan luas 8000m2 dan terdiri dari dua lantai tidak cukup hanya dengan 10 menit. Yo wess putar haluan jalan-jalan keliling lapangan aja. 

Dari dua museum yang dikunjungi, ternyata animo orang Indonesia terhadap museum sudah mulai meningkat, terutama untuk selfie dan wefie hehehhe, ketimbang membaca cerita sejarah, termasuk saya wkwkwkww. Tinggal cari spot menarik, pake tongsis atau timer, jepret. 

Lelah berjalan, kami mendaratkan pantat di Cafe Batavia, restoran sekaligus bar menyajikan makanan internasional dan lokal. Interior cafe dibuat sedemikian rupa mengesankan restoran di zaman kolonial perpaduan budaya Betawi, Cina dan Belanda dengan alunan musik oldis dari negeri kincir angin.

Rogohan kocek kali ini agak dalam, karena variasi harga mulai dari 30ribuan - 1jutaan. Tentu saja dimulai dengan minuman pembuka, segelas mixed fruit dan bir pletok menuntaskan dahaga. Dilanjutkan dengan main course nasi meneer, nasi putih  terdiri dari oseng tempe, rendang, urap, telur balado dan sambal mengganjal perut dan mengembalikan energi yang terkuras. Ditutup dengan rekomendasi ibu pemilik sambil berujar, biar datang mampir lagi kesini, 3 scoop homemade es krim raspberry, pistachio dan guava dengan whip krim dan topping waffle serta buah cherry, apel dan jeruk serta di dasarnya diberikan serutan melon, Batavia Orgy, supeerrrrrr... Memberikan sensasi rasa nano-nano yang nyess dalam mulut, dan masih terbawa bahkan ketika sampai di rumah.

Kampung tengah telah terisi, hatipun senang. Saatnya berkemas pulang. Malam menjelang ketika kami melintas di tengah lapangan berbaur dengan pengunjung yang menikmati malam tak berbintang. Entah hanya duduk-duduk menggelar tikar, bermain dengan sepeda sewaan, berfoto dengan street performer yang menyerupai prajurit, pendekar, noni belanda bahkan hantu atau sekedar bersenda gurau, bercengkrama dengan teman, sanak saudara, kakak, adik, anak, semua tumpah ruah menikmati liburan. 

Langkah terayun, kami pulang. Meninggalkan delman-delman dan boneka-boneka karakter, dengan satu tekad, we'll be bacckkk.. Next time kudu berangkat lebih pagi, soalnya masih ada museum yang belum kami kunjungi, dan tentunya mencicipi makanan khas yang tersedia di sekitar lokasi. 

Ketika kami tiba kembali di rumah pk 21:00, meskipun kaki lelah, hati sungguh senang. Kebahagiaan itu pilihan, bukan perasaan. Bukan seberapa jauh atau mahalnya perjalanan, tapi meluangkan waktu dengan orang-orang terkasih, itu adalah momen yang tak tergantikan.


No comments: