Sunday, June 26, 2011

Seeds Becomes A Tree

Hari Jumat yang lalu, temen minta saya untuk bikin summary kotbah pendeta untuk warta jemaat. Pekerjaan yang sudah lama tidak dilakukan, tetapi saya sanggupi. So sebelum tidur, saya masih sempetin buka catatan dan membacanya kembali. Saya mulai mengatur strategi untuk menyusun kalimat-kalimatnya dalam pikiran. 
Satu hal yang sempat saya kagumi adalah kupasan dari apa yang dibagikan oleh pendeta saya itu.
Sebenarnya ceritanya sungguh sederhana. Bahkan mungkin saya sudah membacanya berulangkali. Akan tetapi pada saat dibagikan, hal itu berubah menjadi sesuatu yang baru.

Mungkin sebagian orang terutama Kristiani pernah membaca dan tahu tentang kisah biji sesawi. Ada beberapa cerita tentang biji sesawi: tentang biji sesawi yang ditaburkan di tanah, tentang biji sesawi yang mampu mencampakan gunung, dan biji sesawi yang bertumbuh menjadi pohon. Nah, pendeta saya itu bercerita tentang hal yang terakhir. Dan diblog ini saya ingin berbagi apa yang saya dapatkan dari kisah itu....

Diceritakan bahwa biji sesawi dapat tumbuh menjadi sayuran bahkan pohon sehingga menjadi tempat burung-burung tinggal. Cerita itu merefleksikan kalau Sang Empunya menitipkan sesuatu (benih) dalam setiap manusia, agar dapat digunakan sebaik-baiknya. Apabila benih yang diberikan tersebut dikembangkan, maka ia akan bertumbuh menjadi tanaman, bahkan pohon yang menghasilkan. Pohon yang menghasilkan akan menjadi tempat untuk makhluk hidup lain tinggal di sana (eh, maksudnya burung, yach...). 

Terkadang, sebagai manusia, saya kadang suka lupa, kalau sebenarnya apa yang sudah didapatkan adalah bentuk karunia dan anugerah dari Sang Empunya tadi. Misalnya Ia memberikan kita kemampuan untuk menyanyi, olahraga, merancang pakaian, menulis, memasak, menari, dan lain-lain, dan lain-lain. Pernah, gak siy, kepikiran kalau kita diberikan kemampuan, kita harus memanfaatkan dan mengembangkannya dengan baik dan berbagi dengan orang lain tentang kemampuan itu? 

Tadi sore, saya menghadiri pertemuan tentang tata cara berbusana yang tepat, yang diadakan oleh departement wanita di gereja. Yang menjadi pembicara adalah seoarng dokter, perancang busana, seorang pakar di bidan hospitality management serta event organizer. Bayangkan, betapa multi talented-nya orang tersebut, yach. Menurut saya, ia telah memanfaatkan apa yang ia miliki untuk dikembangkan secara maksimal. 
  
Banyak cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan. Beberapa sepertih fokus, tekun, rendah hati dan mau untuk menerima kritik membangun dari orang lain. Pembicara tersebut dalam sharingnya juga menyebutkan apabila ada hambatan dalam mengejar impian, pantang menyerah dan putus asa, tetapi tetap terus berjalan untuk mewujudkan impian. Mungkin jalannya berbelok-belok, atau bahkan memutar, tetap fokus pada tujuan. 

Apakah yang dilakukan pembicara tersebut dalam memanfaatkan kemampuannya? Ia berbagi dari apa yang ia miliki, untuk orang lain, berbagi pengalaman dan ilmunya kepada orang-orang yang memerlukan, dan ia bahkan meminta agar apa yang telah didapatkan dapat juga dibagikan kepada yang lain yang tidak hadir dalam acara tersebut.

Back to cerita biji sesawi. Jika diibaratkan dengan kehidupan nyata, ini yang berkelebat dalam pikiran saya belakangan ini: Sudahkah saya? 
Sudahkah saya menjadikan pusat kehidupan saya: Sang Empunya, supaya Ia dapat berkerja secara maksimal dalam kehidupan saya, sehingga memberikan pengaruh pada orang-orang di sekeliling saya? 
Sudahkah saya berbagi pengalaman dengan orang lain, tidak menggemukan badan dengan pengetahuan dan pengalaman yang saya miliki sendiri?
Sudahkah saya menjadi living testimony bagi kebanyakan orang, karena pekerjaan Sang Empunya yang nota bene luar biasa dasyat dalam kehidupan saya? 
Sudahkan saya menabur benih di ladang  yang tepat dan membiarkannya tumbuh menjadi pohon dan dijadikan tempat tinggal burung?
Sudahkah saya menjadi jawaban bagi orang lain? 
Pilihan lagi-lagi tergantung pada saya...



Saturday, June 11, 2011

Situ Patok : One Day Trip to Cirebon

Dalam rangka memperingati ulang tahun ke 73, tante saya, Tante Henny, mengeluarkan ide untuk berjalan-jalan ke Cirebon.
Hmmm perjalanan yang cukup melelahkan, tetapi tak kuasa saya tampik, karena keinginan jalan-jalan keliling Indonesia mengganggu pikiran.

Karena perjalanan melintasi tol Subang dan lewat Jati Bening,  tempat saya tinggal, setelah berkoordinasi dengan sepupu, kami sepakat: saya akan dijemput di gerbang tol Jati Bening pk 04:30. Dengan tidur yang kurang, saya bertahan dan diantar ke tol setelah sepupu saya memberi informasi bus sudah berangkat. Saya menghibur diri, selama di jalan tol, bisa melanjutkan tidur kembali... Tempat duduk saya paling belakang.

Saya terbangun ketika bus masuk daerah Majalengka, karena terguncang-guncang  ke kiri dan kanan. Setelah bersepakat dengan keponakan, saya tukar duduk dengannya. Katya yang badannya lebih kurus, pindah ke belakang, bahkan ia bisa tidur terlentang...

Setelah hampir kurang lebih 5 jam, kami berhenti di pinggir sawah yang menghampar. Di belakang sawah tersebut ada rumah tinggal. Nah tempat itu akan jadi tempat persinggahan kami untuk makan siang.
Tetapi, sebelum kesana, perjalanan dilanjutkan ke Situ Patok, kira-kira sekitar 30 menit perjalanan.

Dari hasil cek ricek dengan Mbah Google, Situ Patok atau Setu Patok merupakan salah satu objek wisata Cirebon, terletak di desa Setu Patok, berjarak 6km dari kota Cirebon mengarah ke Tegal.
Lokasi dapat dijadikan tempat pemancingan dan wisata air seperti berkeliling menggunakan perahu.
Situ Patok dilatarbelakangi oleh perbukitan. Sayang lokasi ini masih belum digarap secara keseluruhan oleh pemerintah setempat, sehingga fasilitas-fasilitas yang ada masih sangat minim.
Ketika berbicara sedikit dengan orang yang menjaga, dia berkata, bahwa di dalamnya terdapat kompleks untuk flying fox, golf dan out bound. Sayang saya tidak sempat melihat kesana.
Dari Situ Patok perjalanan dilanjutkan ke kota Cirebon, tentu saja untuk membeli buah tangan seperti kerupuk udang, rangginang, gampit, terasi udang, dodol sirsak dan sirop.

Memang kampung tengah tidak dapat diajak berkompromi, perjalanan kami di Cirebon berakhir di rumah seorang kerabat. Ikan gurame goreng hasil dari kolam sendiri dan tentu saja nasi dari sawah sendiri, plus sambel kemiri menambah lahap makan siang saya.