Saturday, March 19, 2011

It Takes Two to Tango

Seorang teman ngetag notes ke saya siang tadi. Satu hal yang menarik dari tulisan tersebut adalah cerita tentang belajar dansa.

Ada berbagai macam jenis dansa yang saya ketahui: waltz, cha cha, tango, jive, twist, dan foxtrot. Saya pernah diajarkan beberapa gerakan dasar waltz, jive dan cha cha dari orang tua saya. Seru dan menarik, karena untuk setiap jenis memiliki cara tersendiri untuk melangkah. Yang penting bagi saya, dengarkan irama musiknya, melangkah dan bergoyang.

Dalam tulisan tersebut dikisahkan sepasang suami istri yang ingin belajar berdansa dan mendatangi seorang guru untuk berlatih. Pertanyaan pertama yang diajuka oleh guru tersebut adalah: siapa yang akan memimpin?

Ya, untuk menarikan tarian ini, hanya ada 1 orang yang memimpin sementara yang lainnya menjadi pengikut.
Tentu saja sang pria menjadi pemimpin dan wanita menjadi pengikut. Sang wanita harus membiarkan sang pria membawa dia kemanapun langkahnya pergi di lantai dansa. Bayangkan kalau ada dua orang yang mengatur, jatuh atau terinjak bisa terjadi.

Melanjutkan kisah yang saya baca tadi, sang istri pada awalnya kesulitan untuk menerima bahwa ia harus mengikuti kemana langkah suaminya, akan tetapi ia harus tetap mengakui bahwa sang suami adalah pemimpinnya, dan membiarkan ia memimpin.

Realitas hidup mengizinkan saya semakin menyadari bahwa saya tidak dapat berjalan sendiri mengarungi kehidupan. Saya memerlukan orang lain di sekeliling saya. Tetapi yang paling penting adalah saya harus melibatkan Sang Pencipta dalam kehidupan saya. Tidak semudah membalikan telapak tangan untuk bisa membiarkanNya memimpin. Banyak pertanyaan dalam hati, bahkan menjadi misteri. Supaya tidak tersandung atau terjatuh, ya itu tadi, saya harus membiarkan Ia memimpin saya, membawa saya mengalir dan melangkah, tanpa protes, ya sekali lagi, tanpa protes.
Sama seperti berdansa.
Melangkah mengikuti irama membiarkan Ia membawa saya di arena dansa kehidupan.

PS: thanks to Mas Arie Saptadji buat tagnya : "Your Spiritual Growth Plan"
Sent from my BlackBerry® wireless device from XL GPRS/EDGE/3G network

Wednesday, March 16, 2011

Serabi Gaul Galaxy

Sabtu weekend yang lalu, setelah melewatkan soft opening dari Serabi Gaul Galaxy pada awal bulan, akhirnya saya kesampaian juga mampir kesana.

Serabi Gaul berlokasi sebelah marketing office Grand Galaxy City. Terdiri dari dua lantai, lantai satu dengan gaya sofa-sofa besar di temani dengan kursi-kursi berbentuk kubus dan lantai dua bergaya lesehan dengan bantal-bantal lucu dan empuk. Dominasi orange dan kuning sangat kuat di tempat ini. Oh ya, di lantai dua juga tersedia panggung mini yang bisa digunakan untuk bermain game wii atau akustik.

Sesuai dengan namanya, tentu saja menu utama adalah serabi, dengan tampilan yang telah dimodifikasi. Terdiri dari Love Original dan topping. Serabi original  bercitarasa kinca dan durian. Sementara topping salah satunya tuna mayo.

Selain itu, Serabi Gaul juga menyajikan makanan seperti spageti, pan cake dan snack seperti kentang goreng mayo, tom yam, nugget, sosis goreng serta tahu fantasi. So, don’t worry buat yang pingin makan agak berat masih bisa memesan makanan lain.
Sebagai penutup kita dapat memesan minuman seperti Avocado Float dan Blackforrest.
Semua menu ini diracik sendiri oleh empunya tempat, Cicilia Abigail.

Serabi Gaul bisa dijadikan salah satu alternatif tempat berkumpul di daerah Galaxy dan sekitarnya. Cozy dan feel hommy. Menghabiskan weekend dengan teman-teman sambil makan serabi? Kenapa tidak?
Berminat mampir, buka dari hari Senin – Minggu pk 10:00 – 21:00

Dompet Keluar:

Serabi original kinca : Rp 4500
Serabi original durian : Rp 5500
Avocado Float : Rp 17.000
Blackforrest : Rp 14.000
Kentang goreng : Rp 10.000

Thursday, March 3, 2011

Being Honest

This is a simple story, but I learn something from it. Begini ceritanya.

Kemarin malam, sepulang saya dan seorang teman dari wisata kuliner di sebuah Plaza di Jakarta Pusat, kami naik taksi. Kami memilih lewat jalan tol supaya tiba lebih cepat di rumah, karena hari sudah beranjak malam. Perjalanan kira-kira 30 menit, dan kami terlibat pembicaraan yang cukup asyik.

Sampai tidak terasa hampir keluar dari gerbang tol. Saya mengecek dompet, oh ternyata tidak tersedia uang kecil. Saya bertanya pada rekan apakah dia memiliki uang kecil. Dan ternyata ada Rp2000.
Saya memberikan uang tersebut pada pak supir. Melewati gerbang ini dikenakan biaya Rp1000, gerbang tol termurah menurut saya di antara gerbang tol-gerbang tol lainnya. Penjaga tol memberikan kembalian Rp1000 kepada pak supir. Saya menunggu pak supir mengembalikan uang tersebut. Akan tetapi, sampai kami tiba di rumah masing-masing, pak supir tidak bergeming untuk mengembalikan uang tersebut.

Sebenarnya bukan masalah nominal yang saya lihat, melainkan ada suatu nilai yaitu integritas seseorang dan kejujurannya. Meskipun nilai itu mungkin kecil, tetapi tetap ada nilainya. Jika berhitung secara cepat, dan berpikir untung, taruhlah 10x pak supir melakukan hal tersebut, maka ia telah memperoleh tambahan Rp10.000 dari setiap kembalian yang tidak ia kembalikan.

Kali ini reaksi saya yang bermain. Sebelum tiba di rumah, saya berhenti di toko buah, membeli pisang dan memperoleh kembalian dalam bentuk nominal yang lebih kecil. Apa yang saya lakukan? Ketika turun, ya saya membayar pak supir dengan uang pas sesuai argo yang tertera.

Masih sambil berdiri dan memasuki rumah, saya menceritakan kisah ini kepada adik. Tiba-tiba dia berujar, kenapa engkau bereaksi? Mengapa engkau menghukum pak supir secara tidak langsung dengan memberikan uang pas, padahal engkau bisa memberi dia lebih?

Saya tiba-tiba terdiam. Dilain pihak saya tidak setuju dengan tindakan pak supir, akan tetapi saya bereaksi tanpa dasar.
Seharusnya saya bisa menjelaskan dan menyatakan keberatan saya kepada pak supir, bukan dengan tindakan seperti itu. Dengan tindakan itu saya justru tidak mendidik pak supir untuk bersikap jujur.

Kejujuran dan integritas bisa menjadi hal yang langka dalam kehidupan. Dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana seperti memberi kembalian tadi, bisa berlanjut menjadi besar. Akan tetapi melalui kisah ini saya juga belajar bagaimana untuk tidak bereaksi dengan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak merugikan. Berpikir secara sederhana, memberi tanpa pamrih, dan mengutarakan kebenaran tanpa menghakimi orang lain.


Sent from my BlackBerry® wireless device from XL GPRS/EDGE/3G network